Secara
etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan,
secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan
fasilitas dan kenikmatan.
DASAR HUKUM
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Alquran, 2:275)
KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
2) Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.
3) Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.
b. Berdasarkan Standardisasi Harga
1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
2)
Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal
barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi
tiga jenis:
a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui.
c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.
d) Cara Pembayaran
Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat macam:
1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung (jual beli kontan).
2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.
SYARAT SAH JUAL BELI
Agar
jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang
tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat
ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak
penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang
diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku,
harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan
kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan
demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum
nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
• Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
•
Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar
tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam
karung’ karena hal tersebut dilarang.
• Tidak memberikan batasan
waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu
yang diketahui atau tidak diketahui.
Juzaf (Jual Beli Spekulatif)
Juzaf
ialah menjual barang yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung secara
borongan tanpa ditakar, ditimbang atau dihitung terlebih dahulu. Contoh
hal ini adalah seseorang yang menjual setumpuk makanan, setumpuk pakaian
atau sebidang tanah tanpa mengetahui kepastian ukurannya.
Jual beli
ini disyariatkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar Ra. bahwa
ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang
dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah saw melarang kami menjualnya
sebelum kami memindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim).
Hadits ini
mengindikasikan bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli
juzaf (spekulatif), sehingga hal itu menunjukkan bahwa hal tersebut
dibolehkan.
Namun demikian, agar jual beli juzaf ini diperbolehkan,
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Para ulama Malikiyah
menyebutkan persyaratan tersebut sebagai berikut:
• Baik pembeli dan penjual sama-sama tidak mengetahui ukuran barang dagangan. Kalau salah satunya tahu, jual beli itu tidak sah.
• Jumlah barang dangangan jangan banyak sekali sehingga sulit diprediksikan, atau sedikit sekali sehingga mudah dihitung.
• Tanah tempat meletakkan barang dagangan tersebut harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
• Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
Namun
demikian, terdapat pengecualian, tidak boleh menjual komoditi riba
fadhl dengan jenis yang sama secara spekulatif, seperti menjual satu
tandum kurma dengan satu tandum kurma yang lain. Hal ini dikarenakan
kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhl, “Ketidaktahuan akan kesamaan
sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan (ketdaksamaanya).”
Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
a. Berkaitan dengan objek
1)
Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada,
menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih)
atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
2) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.
3) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual beli fudhuly.
b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
1) jual beli yang mengandung riba
2) Jual beli yang mengandung kecurangan.
Ada
juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di
atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang
menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual
senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya.
Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada
saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.
Akan tetapi, kemungkinan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan adalah sebagai berikut:
• Objek jual beli yang haram.
• Riba.
• Kecurangan, serta;
• Syarat-syarat yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.
7. Jual Beli yang Bermasalah
a. Jual Beli yang Diharamkan
1) Menjual tanggungan dengan tanggungan
Telah
diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana
tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra.[9] Yaitu menjual harga
yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya,
menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan
jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu
pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek
sekali.
2) Jual beli disertai syarat
Jual beli disertai syarat
tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap syarat ini
sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli seperti
agar pembeli tidak menjualnya kembali atau menggunakannya.
Hambaliyah
memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya
bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan
persyaratan yang membuat jual beli menjadi bergantung, seperti ”Saya
jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah
memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi
perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi
bermanfaat bagi salah satu pihak.
3) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:
Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih
mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan,
sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau
kredit.
Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran
tertunda, lalu si penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan
yang lebih murah.
4) Menjual barang yang masih dalam proses
transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih ditawar orang
lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan jual beli ini. Hal ini
didasarkan pada larangan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim,
”Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang
lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh
orang lain, kecuali bila mendapat ijin dari pelaku transaksi atau
peminang yang pertama.”
5) ’Orang kota menjual barang orang dusun.’
Yang dimaksud dengan istilah ini adalah orang kota yang menjadi calo
bagi pedagang orang dusun.[15] Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah orang
kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan
rizki, dengan saling memberi keuntungan yang satu kepada yang lain.”
(HR. Muslim)
6) Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah
telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi
dukun (HR. Bukhari). Kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap
tidak sah menjual anjing apapun, baik dipelihara (untuk berburu) maupun
tidak. Sedangkan, Malikiyah membolehkan menjual anjing kelompok yang
pertama dengan hadits: ”Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing,
kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i).
7) Menjual alat-alat musik dan hiburan. Mayoritas ulama mengharamkan semua lat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan.
Jual
beli saat adzan Jum’at dikumandangkan. Allah swt berfirman: ”Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (Alquran, 62:
9). Adzan yang dimaksud adalah adzan ketika khatib naik mimbar.
Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan
transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, mengetahui larangan
tersebut dan tidak dalam kondisi darurat. Jika keduanya tidak wajib
shalat Jum’at, maka tidak apa-apa. Namun jika salah satunya wajib,
keduanya berdosa.
b. Jual Beli yang Diperdebatkan
1) Jual beli
’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan
lebih banyak (riba). Mayoritas ulama mengharamkannya tanpa pengecualian,
sedangkan Imam as-Syafi’i membolehkannya jika tidak disepakati
sebelumnya.
2) Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat
pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang
bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Menurut pendapat ulama
tujuan dari jual beli ini adalah riba yang berupa manfaat barang.
3)
Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka
(urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang
itu dimasukkan ke dalam harganya. Jika tidak terjadi, urbun menjadi
milik penjual. Mayoritas ulama membolehkan jual beli seperti ini, jika
diberi batasan menunggu secara tegas.
4) Jual beli Istijrar. Yaitu
mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang beberapa waktu
kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi
lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.